Oleh: Riky Handriska
KABARJAMBI.ID – 25 pejabat Aparatur Sipil Negara (ASN) Kota Jambi, akan mengikuti Program Pelatihan Khusus Bidang Kesehatan Digital (IDN) yang diselenggarakan oleh Centre for Development of Advanced Computing (CDAC) di Mohali, India, dari 30 Oktober hingga 4 November 2025.
Pelatihan Digital Health Transformation ialah sebuah program di bawah skema Indian Technical and Economic Cooperation (ITEC). Program ini secara langsung diinisiasi oleh Wali Kota Jambi dr. H. Maulana, bersama istrinya, dr. Hj. Nadiyah Maulana saat melakukan kunjungan resmi ke Konsulat Jenderal (Konjen) India Ravi Shanker Goel, di Medan, pada Rabu (22/10/2025).
Di atas kertas, program ini tampak menjanjikan. Namun di balik narasi “transformasi digital”, publik mulai bertanya-tanya: Apakah ini benar langkah strategis menuju pelayanan publik modern, atau justru sekadar perjalanan nostalgia ke negeri asal sang nyonya?
Entahlah! Yang pasti, Saat ini, ITEC menggunakan berbagai metode, termasuk eITEC (pelatihan daring), ungkap Ravi Shanker Goel Konsul Jenderal India di Medan (Sumber Jambi Newsroom.com).
Sebelum kita berfikir serta mulai bicara jauh tentang digitalisasi. Lebih baik mari kita tengok dulu dalam konteks nasionalnya.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah mengeluarkan surat edaran yang tegas melarang kepala daerah melakukan perjalanan luar negeri non-urgensi, dengan alasan efisiensi anggaran. Instruksi ini jelas: Tunda perjalanan Dinas luar negeri, fokus pada prioritas daerah.
Faktanya, anggaran perjalanan dinas Pemerintah Kota Jambi telah mencapai Rp74 miliar pada awal tahun 2025, sebelum akhirnya dipangkas 50 persen menjadi Rp37 miliar (Data Jambi Prima, Februari 2025).
Maka, sangat wajar jika masyarakat mempertanyakan urgensi perjalanan dinas para Pejabat ASN Kota Jambi ke luar negeri (India) di tengah upaya penghematan nasional ini.
Perlu diketahui bersama bahwa. India memang dikenal sebagai raksasa teknologi dunia. Mereka telah lama mengembangkan Digital Health Mission, sistem Aadhaar, dan National Health Stack infrastruktur digital yang memayungi jutaan data kesehatan warga.
Namun, konteks Indonesia, apalagi Kota Jambi, jelas berbeda. Infrastruktur data belum terintegrasi, jaringan informasi belum sepenuhnya stabil, dan koordinasi antar instansi masih lemah. Artinya jika pak Maulana tetap memaksakan membawa model India ke Kota Jambi, tanpa kesiapan sistem yang memadai. Sama saja halnya, seperti membawa mesin jet ke bengkel sepeda bertenaga, tapi tak punya landasan.
Sebagai Pegiat Transformasi Digital, saya memahami bahwa inti dari Digital Government itu adalah interoperabilitas sistem, bukan sekadar pelatihan. Transformasi digital menuntut kemampuan antar instansi untuk saling berbagi data, memahami keamanan siber, dan membangun sistem yang berorientasi pada efisiensi publik. Tanpa itu, pelatihan sebesar dan sebaik apa pun itu. Hanya akan berakhir sebagai dokumen laporan, bukan perubahan serta terkesan buang buang anggaran di tengah kesulitan.
Lebih jauh lagi, konsep Kesehatan Digital (Digital Health) itu bukan hal yang sederhana. Ia mencakup electronic medical record, telemedicine, data analytics, AI diagnosis, hingga cyber scurity medis. Untuk menerapkan itu di Kota Jambi, sangat sekali dibutuhkan kesiapan infrastruktur data dan jaringan yang kuat, bukan sekadar pelatihan singkat di luar negeri. Apalagi, hambatan bahasa teknis dan budaya kerja akan menjadi tantangan serius bagi peserta pelatihan. Bisa saja mereka nanti mereka akan mendengar beberapa istilah seperti, FHIR API interoperability, atau predictive analytics for patient outcomes. Tapi apakah sudah ada sistem data kesehatan daerah yang mampu menerimanya?
Jika benar Pemerintah India menanggung biaya pelatihan, itu patut diapresiasi. Namun tanggung jawab moral tetap ada di Pemerintah Kota Jambi. Serta Walikota Jambi dr. Maulana harus membuktikan serta dapat memastikan hasil pelatihan itu relevan, terukur,dan dapat diimplementasikan. Bukan sekadar menambah daftar perjalanan dinas internasional,
Narasi “pelatihan digital” seperti ini sering kali terdengar gagah di podium, tapi belum tentu berakar di lapangan. Sebab, transformasi digital bukan soal berangkat ke luar negeri, melainkan soal pulang dengan gagasan yang bisa diterapkan.
Ingat! Masyarakat Kota Jambi tidak butuh wisata teknologi, melainkan yang di inginkan ialah sistem yang berfungsi dan bermanfaat bagi masyarakat. Seandainya jika program ini tidak menghasilkan peta jalan nyata bagi digitalisasi kesehatan daerah kota Jambi, maka Walikota Jambi dr. Maulana telah menciptakan sebuah program indah di negeri India tempat asal sang Nyonya Nadiyah saja, Namun sesampainya di negeri sepucuk Jambi sembilan lurah malah program tersebut menjadi hampa dan tak berguna. Jangan sampai ini terjadi.
Ketika Pak Walikota Maulana melepas 25 pejabat ASN untuk berangkat ke India nanti nya, masyarakat kota Jambi tentu berharap mereka benar-benar belajar teknologi, bukan sekadar berwisata digital. Karena transformasi digital bukan diukur dari tiket pesawat yang terbit, tapi dari data publik yang akhirnya bisa tersambung…

 
															 
															 
							