Oleh: Riky Handriska

KABARJAMBI.ID – Di republik ini, kata “otonomi” telah kehilangan makna. Pusat terus mengatur, daerah terus menanggung. Ketika pusat mengendalikan izin, pajak, dan kebijakan, lalu memotong transfer dana ke daerah, apa yang tersisa dari semangat desentralisasi yang dulu dijanjikan reformasi?

Pemangkasan Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) untuk tahun 2026 dari Rp.919 triliun menjadi Rp. 693 triliun, turun sekitar 29 persen, bukan sekadar angka di atas kertas. Itu adalah pemangkasan nafas bagi daerah. Di saat pusat berbicara efisiensi, di bawah sana jalan tak diperbaiki, gaji tenaga honorer tertunda, dan layanan dasar publik perlahan terhenti.

Tapi yang paling ironis, ketika pelayanan tersendat dan pembangunan terhambat, yang disalahkan adalah kepala daerah.

Masyarakat menilai mereka tak becus memimpin, tanpa tahu bahwa tangan mereka diikat oleh kebijakan pusat yang semakin sentralistis.

Pada 7 Oktober 2025, 18 gubernur dari berbagai provinsi mendatangi Kementerian Keuangan RI. Dipimpin oleh Al Haris, Gubernur Jambi yang kini menjabat Ketua APPSI (Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia), mereka menyampaikan keresahan kolektif di hadapan Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa.

“Kalau semua diatur pusat, bagaimana daerah bisa mandiri? Kalau semua izin dan pajak diambil, apa yang tersisa untuk kami membangun rakyat kami sendiri?” Al Haris, Ketua APPSI, 7 Oktober 2025.

Itu bukan sekadar keluhan, tapi jeritan yang mewakili jutaan rakyat daerah yang hidup dari APBD yang semakin menipis.

Dana transfer pusat selama ini menjadi tulang punggung bagi 90 persen daerah berkapasitas fiskal rendah.

Ketika dipangkas, mereka tak punya pilihan selain menaikkan pajak, mengurangi layanan publik, atau menunda pembangunan. Semua pilihan sama-sama pahit, dan rakyatlah yang menanggung akibatnya.

Baca Juga:  Jejak Ambo Tang Terungkap: Kapal Bermuatan 8,1 Ton Sembako Ilegal Ditangkap, Bongkar di Marina Tanjab Barat

Jika pusat menganggap ada kesalahan atau ketidakefisienan di daerah, solusinya adalah audit dan pendampingan, bukan pemotongan sepihak.

Sebab setiap rupiah yang tidak turun dari pusat berarti jalan desa tak selesai, puskesmas tak punya obat, dan gaji ASN terancam tertunggak. Pemangkasan tanpa dialog adalah bentuk ketidakpercayaan, dan itu merusak jembatan keadilan fiskal yang selama ini dijaga sejak awal otonomi.

Lebih dari itu, kewenangan daerah kini juga tergerus habis. Perizinan investasi, pengelolaan lingkungan, hingga tata ruang kini dipegang pusat. Daerah hanya menjadi pelaksana, bukan pengatur. Maka apa gunanya otonomi, jika semua keputusan strategis diambil dari Jakarta?

“Desentralisasi tanpa dana” hanyalah slogan kosong yang menipu rakyat dengan kata-kata indah, tapi tanpa substansi.

Kondisi ini mengancam hubungan kepercayaan antara pusat dan daerah. Kebijakan sepihak, tanpa konsultasi, menjadi preseden buruk dalam tata kelola pemerintahan. Jika pusat terus merasa paling tahu segalanya, sementara daerah terus dibebani tanggung jawab tanpa sumber daya, maka lambat laun semangat kolaborasi akan berubah menjadi perlawanan diam-diam.

Efisiensi, bila benar-benar dibutuhkan, seharusnya dilakukan dengan bertahap, transparan, dan berkeadilan.

Jangan pukul rata seluruh daerah, karena kemampuan fiskal setiap provinsi berbeda. Lindungi sektor penting seperti pendidikan, kesehatan, dan air bersih.

Negara yang adil bukan yang menekan dari atas, tapi yang menguatkan dari bawah.

Dalam pertemuan dengan Menkeu, Al Haris tidak hanya berbicara untuk Jambi, tapi untuk seluruh Indonesia daerah. Ia membawa semangat bahwa pembangunan tidak boleh dimonopoli oleh pusat.

Ia membawa kesadaran bahwa tanpa keadilan fiskal, otonomi hanyalah mitos yang diulang setiap tahun tanpa makna.

Gerakan Al Haris bersama para gubernur itu bukan sekadar “curhat fiskal”, tapi peringatan keras. Jika pusat terus memangkas dana dan mengambil kewenangan, maka daerah akan berhenti bernapas.

Baca Juga:  Dari Rumah Lapuk ke Hunian Layak, Al Haris Buktikan Jambi Siap Sukseskan 3 Juta Rumah Presiden Prabowo

Karena sejatinya, negara yang kuat bukan karena pusatnya makmur, tapi karena daerahnya berdaya.

Sudah waktunya Pusat berhenti mengatur segalanya. Biarkan daerah ikut menentukan nasibnya sendiri. Sebagaimana yang dijanjikan oleh konstitusi dan semangat reformasi dua dekade lalu.

Kalau tidak, otonomi tinggal slogan. Dan daerah, sekali lagi, hanya akan menanggung kesalahan yang bukan mereka buat.