KABARJAMBI.ID – Provinsi Jambi bukan daerah miskin sumber daya. Negeri Sepucuk Jambi Sembilan Lurah ini justru dianugerahi kekayaan alam yang melimpah. Batubara, sawit, karet, minyak dan gas, serta posisi geografis strategis di jantung Sumatera. Secara logika ekonomi, kombinasi ini semestinya cukup untuk mengangkat Jambi sebagai salah satu kekuatan utama ekonomi regional. Namun realitas di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Jambi tertinggal, bahkan belum masuk lingkar inti kekuatan ekonomi Sumatera.

Pertanyaan yang layak diajukan bukan lagi soal potensi, melainkan soal arah dan tanggung jawab. Jika kekayaan alam begitu besar, ke mana sebenarnya hasilnya mengalir selama ini?

Struktur ekonomi Jambi memberi jawabannya. Selama bertahun-tahun, pembangunan ekonomi berjalan di tempat dengan pola yang sama: ekstraksi, pengangkutan, dan penjualan bahan mentah. Nilai tambah tidak dibangun di daerah, industri hilir tumbuh setengah hati, dan kota-kota di Jambi tidak pernah disiapkan sebagai pusat produksi maupun inovasi. Yang meningkat hanyalah angka statistik, sementara fondasi ekonomi riil tetap rapuh.

Di Sumatera, peta kekuatan ekonomi terbaca jelas. Medan, Batam, Pekanbaru, Palembang, dan Bandar Lampung bergerak lebih cepat karena keberanian kebijakan. Mereka tidak sekadar menjual sumber daya, tetapi membangun ekosistem ekonomi: industri pengolahan, jasa, logistik, dan pasar tenaga kerja produktif. Jambi memilih jalur aman dan justru terjebak dalam ketertinggalan struktural.

Ironisnya, pertumbuhan ekonomi Jambi kerap dirayakan sebagai keberhasilan. Padahal pertumbuhan yang tidak mengubah struktur hanyalah ilusi. Lapangan kerja formal stagnan, upah riil tertahan, dan sebagian besar masyarakat bertahan di sektor rentan. Kekayaan alam tidak menjelma kesejahteraan, melainkan berhenti sebagai komoditas yang manfaat terbesarnya dinikmati di luar daerah.

Masalah ini tidak bisa lagi disederhanakan sebagai dampak pasar atau tekanan global. Ini adalah soal kepemimpinan dan arah kebijakan. Kabupaten dan kota di Jambi tidak pernah diposisikan sebagai mesin ekonomi. Kota Jambi sendiri lebih berperan sebagai pusat administrasi ketimbang pusat jasa modern yang mampu menarik modal dan talenta. Klaster industri nyaris tidak terbentuk, rantai pasok daerah terfragmentasi, dan visi besar pembangunan ekonomi tidak pernah benar-benar diwujudkan.

Baca Juga:  Dari Keterbatasan Menuju Kemandirian: Al Haris Catat Sejarah Baru Kesehatan Jambi

Di tengah kenyataan itu, saya teringat satu pernyataan Kwik Kian Gie yang pernah saya dengar langsung saat menghadiri forum nasional mahasiswa jurnalistik di Ciputat, Jakarta. Ia menegaskan bahwa daerah kaya sumber daya justru paling rentan gagal ketika pemerintah tidak hadir mengatur arah dan distribusi manfaatnya. Kekayaan alam, menurutnya, tidak otomatis membawa kemakmuran; ia bisa menjadi jebakan bila dikelola tanpa visi dan keberanian kebijakan.

Peringatan itu relevan dengan kondisi Jambi hari ini. Kekayaan alam terus dieksploitasi, tetapi fondasi ekonomi tidak pernah dibangun secara serius. Daerah penghasil tetap menjadi wilayah penyangga, sementara pusat nilai tambah tumbuh di luar. Dalam skema seperti ini, Jambi bukan pemain utama, melainkan pemasok yang mudah digantikan dalam peta ekonomi Sumatera.

Karena itu, tuntutan pertanggungjawaban tidak bisa lagi dihindari. Gubernur Jambi memegang peran kunci dalam menentukan arah pembangunan ekonomi daerah. Mengelola stabilitas dan menjaga angka pertumbuhan saja tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah perubahan arah kebijakan: keberanian keluar dari ketergantungan ekonomi primer, konsistensi membangun hilirisasi, dan keseriusan menjadikan kabupaten serta kota di Jambi sebagai pusat kegiatan ekonomi yang produktif dan bernilai tambah.

Sejarah tidak pernah menilai pemimpin dari retorika, apalagi dari berkas laporan dan pengakuan pusat semata. Ia menilai dari jejak kebijakan yang ditinggalkan: apakah rakyat hidup dalam kesejahteraan, atau justru merintih di tengah kesulitan yang diciptakan oleh keputusan yang salah. Pada titik itulah kepemimpinan diuji bukan di podium, melainkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat yang dipimpinnya.