KABARJAMBI.ID – Kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) Jambi kembali diproduksi sebagai prestasi pemerintahan daerah. Namun bagi publik yang berpikir jernih, kebijakan ini justru membuka satu pertanyaan mendasar: apakah ini benar-benar kebijakan untuk rakyat pekerja, atau sekadar laporan kinerja ke pusat demi kepentingan karier politik?

Dalam struktur pemerintahan yang tersentralisasi, penetapan UMP bukanlah wujud keberanian kepala daerah, melainkan kepatuhan administratif terhadap formula nasional. Kenaikan upah terjadi bukan karena terobosan, melainkan karena kewajiban. Tidak ada negosiasi politik yang berpihak, tidak ada keberanian melampaui batas minimum, tidak ada upaya menjadikan kebutuhan hidup layak sebagai dasar kebijakan. Yang ada hanyalah pelaksanaan mekanis yang rapi, aman, dan disukai pusat.

Di titik inilah UMP kehilangan makna sosialnya dan berubah fungsi menjadi alat pencitraan teknokratis. Angka dipamerkan, persentase dirayakan, konferensi pers digelar. Namun realitas buruh tetap sama: biaya hidup naik lebih cepat, daya beli stagnan, dan kebutuhan dasar dipenuhi dengan lembur berlebihan atau utang konsumtif. Kenaikan nominal tanpa kenaikan kesejahteraan adalah ilusi ekonomi yang disengaja.

Para pengamat ekonomi nasional telah lama mengingatkan bahwa kebijakan upah minimum di Indonesia lebih berfungsi menjaga stabilitas investasi ketimbang menjamin kehidupan layak pekerja. Kepala daerah yang patuh pada formula pusat, tidak menimbulkan konflik industrial, dan tidak “terlalu progresif” justru dinilai ideal dalam peta kekuasaan nasional. Kepatuhan menjadi mata uang politik. Stabilitas menjadi tiket promosi.

Dalam konteks ini, kenaikan UMP Jambi lebih masuk akal dibaca sebagai pengakuan dari pusat, bukan keberpihakan pada buruh. Ia menjadi semacam portofolio politik: bukti bahwa seorang gubernur mampu menjalankan kebijakan nasional tanpa gejolak, tanpa keberanian berlebih, dan tanpa keberpihakan yang berisiko. Sebuah CV kekuasaan yang rapi untuk dibawa ke Jakarta.

Baca Juga:  Al Haris Buka Pintu Pendidikan Tinggi: Beasiswa S2 dan S3 Pro Jambi Cerdas Resmi Dibuka!

Buruh, dalam skema ini, hanya menjadi latar belakang. Penderitaan riil pekerja harga pangan, sewa rumah, transportasi, pendidikan, dan energi tidak pernah menjadi variabel utama. Yang utama adalah menjaga agar grafik terlihat naik dan laporan terlihat sukses. Keadilan sosial dikalahkan oleh kalkulasi karier.

Kebijakan ini juga memperlihatkan orientasi kekuasaan yang jelas: ke atas, bukan ke bawah. Kepada pusat, patuh. Kepada rakyat, normatif. Kepada buruh, minimalis. Padahal konsensus global, termasuk rekomendasi Organisasi Perburuhan Internasional, menegaskan bahwa upah layak bukan ancaman bagi ekonomi, melainkan fondasi stabilitas sosial jangka panjang.

Maka persoalannya bukan sekadar apakah UMP naik atau tidak. Persoalannya adalah keberanian politik yang absen. Ketika kepala daerah lebih sibuk memastikan citra aman di mata elite nasional ketimbang memastikan buruh bisa hidup layak, maka fungsi kepemimpinan telah bergeser: dari pelayan rakyat menjadi pelayan sistem.

Seperti diingatkan oleh ilmuwan politik dunia Harold D. Lasswell, “politik pada dasarnya adalah soal siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana.” Dalam kebijakan UMP Jambi, yang mendapatkan pengakuan adalah elite kekuasaan, sementara buruh hanya mendapatkan angka tanpa perubahan hidup yang nyata.

Selama kebijakan upah masih dijadikan alat pencitraan dan tangga karier, maka setiap perayaan kenaikan UMP bukanlah kabar gembira. Ia hanyalah penegasan bahwa ambisi penguasa terus naik, sementara martabat hidup pekerja dibiarkan tetap di tempat.