“SAAT NARASI KEKUASAAN LEBIH KERAS DARI SUARA RAKYAT”

*Opini Kanti*

KABARJAMBI.ID – Periode kedua kepemimpinan seharusnya menjadi fase tanpa pembelaan diri. Tidak ada lagi alasan belajar, tidak ada lagi narasi proses, apalagi dalih “ini salah zaman dulu”. Kepemimpinan yang matang hanya diukur dari satu hal: apa yang benar-benar dirasakan rakyat setiap hari. Sayangnya, di Jambi hari ini, narasi kekuasaan semakin rajin diproduksi, sementara realitas hidup masyarakat justru semakin jauh dari harapan.

Salah satu contoh paling telanjang adalah persoalan stunting. Pemerintah Provinsi Jambi menargetkan penurunan hingga 12 persen sebagai bukti kepedulian pada masa depan anak-anak. Namun faktanya, angka tersebut tidak tercapai. Data terakhir justru menunjukkan angka sekitar 17 persen, jauh dari target yang dibanggakan. Ini bukan sekadar kegagalan statistik, melainkan tamparan keras terhadap klaim keberhasilan kebijakan sosial yang selama ini digaungkan.

Program Dumisake yang terus dipromosikan sebagai simbol keberpihakan juga menyisakan banyak pertanyaan. Di satu sisi, ia dipamerkan dalam pidato dan publikasi resmi. Di sisi lain, di banyak desa bantuan tidak merata, dampak sosialnya samar, dan manfaatnya nyaris tidak dirasakan oleh kelompok paling rentan. Ketika sebuah program besar tidak mampu mengubah indikator dasar seperti stunting dan kemiskinan, maka yang terjadi bukan keberhasilan, melainkan kegagalan memenuhi janji kepada rakyat.

Deretan penghargaan nasional pun kerap dijadikan tameng setiap kali kritik muncul. Padahal publik memahami satu hal sederhana: penghargaan administratif tidak identik dengan kesejahteraan nyata. Penghargaan menilai laporan, inovasi di atas kertas, dan kepatuhan prosedur. Rakyat menilai dari kehidupan sehari-hari: banjir yang berulang, jalan desa yang rusak, biaya hidup yang kian menekan. Ketika penghargaan bertambah tetapi masalah dasar tak kunjung selesai, wajar jika publik menilai penghargaan itu lebih menguntungkan citra kekuasaan ketimbang kehidupan warga.

Baca Juga:  Transformasi Digital atau Transformasi Kepentingan?

Masalah semakin kompleks ketika proyek-proyek multiyears yang seharusnya menjadi katalis pembangunan justru berubah menjadi sumber kontroversi. Indikasi penyimpangan pada proyek bernilai sekitar Rp1,5 triliun mencakup penggeseran anggaran, kualitas pekerjaan yang dipertanyakan, hingga pelaksanaan yang tidak sejalan dengan perencanaan awal. Proyek seperti Islamic Center dan Stadion Swarna Bhumi bahkan dituding menyusut dari rencana semula. Ini bukan soal selera atau perbedaan ekspektasi, melainkan kegagalan serius dalam pengelolaan uang publik.

Proyek Tanggo Rajo menjadi simbol paling gamblang dari kekacauan perencanaan. Anggaran dihabiskan, bangunan didirikan, lalu kebijakan berubah dan proyek harus direvisi atau dibongkar. Ini bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan ketiadaan arah dan akuntabilitas kepemimpinan.

Kasus korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) SMK yang menyeret anak buah di lingkar pemerintahan memperparah keadaan. Fakta hukum menunjukkan adanya pejabat yang ditetapkan sebagai tersangka. Ini bukan semata kesalahan individu, melainkan cerminan lemahnya sistem pengawasan dan budaya birokrasi. Penindakan tanpa evaluasi struktural hanya menyentuh gejala, bukan akar persoalan.

Persoalan jalan khusus batu bara pun tak kalah mencolok. Janji solusi terus disampaikan, tetapi yang dirasakan warga adalah debu, kerusakan jalan umum, konflik sosial, dan kerusakan lingkungan. Negara seharusnya hadir menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan keselamatan rakyat. Yang terjadi justru sebaliknya.

Ironisnya, di tengah rentetan masalah tersebut, respons kekuasaan terhadap kritik justru semakin defensif. Gubernur Jambi berulang kali menyatakan dirinya “dihujani hujatan di media sosial”. Pernyataan ini problematik. Kritik yang muncul bukan datang dari ruang kosong atau kelompok pembenci, melainkan dari warga yang mengalami langsung kegagalan kebijakan. Media sosial hari ini adalah ruang ekspresi publik, bukan markas oposisi. Menyebut kritik sebagai hujatan hanyalah cara paling mudah menghindari substansi masalah.

Baca Juga:  Akun Facebook Mukhtar Latif Dibajak dan Digunakan untuk Meminta Bantuan Pondok Lewat Messenger

Fenomena ini sejalan dengan rendahnya kepercayaan politik yang tercermin dalam Pilkada 2024. Dari lebih dari 2,6 juta pemilih terdaftar, angka golput menjadi sinyal paling jujur dari publik. Golput bukan sekadar absen di bilik suara, melainkan ekspresi kekecewaan dan ketidakpercayaan. Ketika lebih banyak warga memilih diam daripada memilih pemimpin, legitimasi sosial sesungguhnya sedang runtuh.

Dalam kondisi seperti itu, kritik publik bukan tindakan berlebihan. Ia adalah refleksi kewarasan sosial. Publik menolak dibuai slogan, pidato, dan klaim capaian tanpa perubahan nyata.

Simbol kepemimpinan pun kian memperdalam jarak dengan rakyat. Momen Gubernur Jambi tertangkap kamera tertidur saat Presiden menyampaikan pidato resmi menjadi simbol yang sulit dilupakan. Dalam politik, simbol sering lebih keras daripada kata-kata. Ketika rakyat diminta serius menghadapi krisis, tetapi pemimpinnya tampak abai di forum kenegaraan, wajar bila publik mempertanyakan kualitas kepemimpinan itu sendiri.

Peristiwa tersebut bukan insiden tunggal. Dalam berbagai krisis, banjir, konflik tambang, hingga persoalan sosial kehadiran pemimpin sering kali tidak dirasakan langsung oleh warga terdampak. Pemerintahan tampak lebih sibuk mengelola citra ketimbang menyelesaikan persoalan di lapangan.

Kasus dugaan pelecehan terhadap istri oknum anggota kepolisian di Jambi pun menambah daftar panjang persoalan moral. Dalam situasi yang menyangkut martabat perempuan dan keadilan sosial, yang dibutuhkan adalah sikap tegas dan empatik. Respons normatif justru memperlebar jarak antara kekuasaan dan rasa keadilan publik.

Semua ini membentuk satu pola: kepemimpinan yang reaktif terhadap kritik, tetapi pasif terhadap substansi masalah. Dalam teori legitimasi politik, kepercayaan publik runtuh bukan karena satu kegagalan, melainkan karena akumulasi simbol, kebijakan, dan sikap yang terus mengirim pesan ketidakpedulian.

Di titik inilah kritik publik menemukan pembenarannya. Bukan karena kebencian, bukan karena oposisi, melainkan karena yang dipertaruhkan adalah masa depan Jambi.

Baca Juga:  RAPOR MERAH JAMBI UNTUK KPK

Tulisan ini bukan kebencian, melainkan peringatan. Kekuasaan dibangun dari keringat dan penderitaan rakyat, dan sejarah selalu menghukum pemimpin yang menghamburkannya demi ambisi dan ego. Kepemimpinan hanya bertahan jika mau mendengar, berdiskusi, dan mengoreksi diri. Selebihnya, waktu dan sejarah yang akan mencatatnya.