KABARJAMBI.id – Dalam sejarah politik, citra seorang pemimpin selalu menjadi medan perebutan. Jika pada masa lalu pertempuran itu berlangsung lewat pamflet, surat kabar, atau bisik-bisik di warung kopi, kini perang citra berlangsung di ruang digital yang tak mengenal batas waktu. Inilah yang oleh banyak pengamat disebut sebagai cyber war politik perang yang tidak lagi mengandalkan peluru dan senjata, melainkan narasi, framing, dan algoritma.
Fenomena ini terlihat jelas dalam dinamika politik Jambi. Nama Gubernur Al Haris hampir selalu muncul sebagai magnet dalam percakapan digital, baik di media sosial maupun kanal pemberitaan alternatif. Ironisnya, sebagian besar kemunculan itu kerap dikaitkan dengan framing negatif. Dari isu jalan khusus batu bara, hingga sekadar potongan video saat beliau bergurau atau berjoget, semua dijadikan bahan bakar untuk melahirkan narasi yang menggiring opini publik.
Jika kita perhatikan pola yang berulang, terlihat bahwa akun-akun tertentu seolah memiliki “agenda khusus”. Mereka rajin mem-posting momen yang bisa memperburuk citra Al Haris, namun nyaris tak pernah mengangkat keberhasilan atau kebijakan positif yang jelas berdampak bagi masyarakat. Di sinilah konsep selective framing bekerja narasi dibangun bukan berdasarkan realitas utuh, melainkan bagian kecil yang sengaja dipotong agar menimbulkan persepsi tertentu.
Fenomena ini sejatinya bukan hal baru. Dalam sejarah, tokoh-tokoh besar seringkali diserang melalui medium komunikasi masanya. Abraham Lincoln pernah menjadi sasaran karikatur politik yang kejam. Soekarno pun kerap diframing lewat propaganda radio dan selebaran pada era konflik politik. Bedanya, di era digital, kecepatan dan jangkauan serangan ini berlipat ganda, diperkuat oleh algoritma media sosial yang mendorong konten sensasional lebih cepat viral dibanding narasi faktual.
Kondisi ini memperlihatkan bagaimana politik di Jambi kini masuk ke tahap algoritmik. Serangan bukan hanya dilakukan oleh individu, melainkan didorong oleh logika mesin yang memviralkan konten provokatif karena dianggap “menguntungkan” secara engagement. Inilah wajah nyata post-truth era di mana emosi lebih dominan dari fakta, dan kebenaran seringkali tenggelam di bawah gelombang opini yang dibentuk oleh potongan-potongan video singkat.
Namun, justru dalam kepungan serangan itu, kita perlu melihat satu hal penting, Al Haris sejauh ini memilih fokus pada kerja-kerja nyata. Program pembangunan infrastruktur, pendidikan, hingga pemberdayaan masyarakat tetap berjalan meskipun dirinya terus disudutkan oleh narasi digital. Ini menandakan bahwa cyber war politik tidak serta-merta memengaruhi substansi kepemimpinan, tetapi lebih pada upaya membentuk persepsi publik.
Pada akhirnya, tantangan terbesar bukan hanya bagi Al Haris, melainkan bagi masyarakat Jambi secara keseluruhan. Bagaimana kita menyikapi derasnya informasi di media sosial? Bagaimana kita menilai sebuah peristiwa dengan jernih tanpa terjebak framing yang bias?
Inilah saatnya publik Jambi menjadi lebih cerdas secara digital. Tidak semua yang viral adalah kebenaran. Tidak semua yang ramai dibicarakan adalah representasi utuh dari realitas. Seperti kata Umberto Eco, “Media sosial memberi hak berbicara pada legiun idiot yang sebelumnya hanya berbicara di warung kopi.”
Kita harus belajar memilah. Mana kritik konstruktif yang patut direspon, dan mana sekadar narasi destruktif yang ditunggangi kepentingan politik.
Jangan biarkan algoritma menentukan apa yang kita pikirkan. Jangan biarkan framing sepihak merusak cara pandang kita terhadap kepemimpinan. Dalam pusaran cyber war politik ini, masyarakat Jambi harus menjadi benteng terakhir. Rasional, kritis, dan bijak. Karena pada akhirnya, masa depan daerah ini tidak ditentukan oleh viralitas video singkat, melainkan oleh konsistensi kerja nyata untuk rakyat.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.