KABARJAMBI.IDGubernur Jambi Al Haris menyebut dua periode kepemimpinannya sebagai amanat rakyat dengan niat yang tetap sama: memperluas ladang ibadah untuk Jambi. Kalimat ini terdengar luhur, tetapi dalam negara hukum dan demokrasi modern, niat bukanlah satuan ukur kekuasaan. Kekuasaan diukur dari hasil yang tercatat, dapat diaudit, dan berdampak langsung pada kehidupan rakyat. Ketika niat dijadikan argumen utama, justru di situlah persoalan kepemimpinan mulai muncul: apakah pemerintah sedang diuji oleh data, atau sedang berlindung di balik bahasa moral.

Dua periode adalah waktu yang terlalu panjang untuk sekadar berbicara niat. Negara memberi mandat bukan untuk mengulang keyakinan, melainkan untuk menyelesaikan masalah struktural. Data resmi negara menunjukkan bahwa Jambi belum keluar dari lingkar persoalan yang sama. Angka kemiskinan memang bergerak turun, tetapi penurunannya bersifat nasional dan siklikal, bukan hasil terobosan kebijakan daerah. Kantong-kantong kemiskinan tetap bertahan di wilayah pedesaan dan daerah penghasil sumber daya alam. Ketimpangan antarwilayah tidak menyempit secara signifikan. Ini menandakan bahwa selama dua periode, Jambi belum memutus kemiskinan sebagai problem struktural, hanya mengelolanya agar tetap terkendali.

APBD Provinsi Jambi terus berputar dalam angka yang besar, tetapi dampaknya terhadap kualitas hidup publik tidak sebanding. Struktur belanja masih berat ke arah birokrasi dan proyek rutin, sementara belanja yang benar-benar mengubah hidup rakyat tidak menghasilkan lompatan berarti. Jalan rusak, sekolah dengan fasilitas minim, serta layanan publik yang timpang antarwilayah bukanlah anomali, melainkan konsekuensi dari pilihan anggaran. Dalam pemerintahan, anggaran adalah dokumen paling jujur dari arah kekuasaan. Ia tidak bisa disamarkan oleh narasi apa pun.

Pada titik inilah, barangkali Gubernur Jambi perlu membuka kembali bacaan klasik tentang kekuasaan dan tanggung jawab publik, seperti Politics as a Vocation karya Max Weber. Weber mengingatkan bahwa pemimpin tidak dinilai dari kemurnian niatnya, melainkan dari kesediaannya menanggung konsekuensi kebijakan secara rasional. Etika kepemimpinan bukan etika keyakinan pribadi, melainkan etika tanggung jawab atas dampak nyata keputusan politik. Pesan ini relevan karena problem Jambi hari ini bukan kekurangan niat baik, tetapi kekurangan keberanian mengambil keputusan yang berisiko secara politik.

Baca Juga:  Dari Keterbatasan Menuju Kemandirian: Al Haris Catat Sejarah Baru Kesehatan Jambi

Masalahnya tidak berhenti pada orientasi belanja, tetapi juga pada tata kelola. Berbagai laporan pengawasan nasional menempatkan sektor pendidikan, pengadaan, dan infrastruktur daerah sebagai area rawan penyimpangan. Namun yang paling mencolok bukan semata soal ada atau tidaknya kasus hukum, melainkan absennya pembersihan sistemik. Tidak ada audit terbuka lintas periode yang diumumkan kepada publik. Tidak ada koreksi menyeluruh terhadap desain kebijakan yang gagal. Tidak ada sanksi politik yang tegas terhadap pejabat yang tidak mencapai kinerja. Dalam situasi seperti ini, narasi moral justru berfungsi sebagai pelindung, bukan sebagai alat koreksi.

Ketika kebijakan tidak bergerak dan koreksi tidak dilakukan, bahasa agama berubah menjadi alarm. Alarm bahwa kepemimpinan sedang berada dalam tekanan. Tekanan dari sekumpulan kelompok kepentingan yang mengintervensi arah kebijakan, menekan setiap upaya pembenahan, dan membatasi ruang keberanian politik. Dalam kondisi seperti itu, narasi religius tidak lagi berdiri sebagai nilai etis, melainkan sebagai tameng untuk menjelaskan mengapa keputusan besar tak kunjung diambil.

Jika niat untuk Jambi memang besar, maka yang dibutuhkan bukan pengulangan narasi, melainkan keberanian untuk keluar dari kepungan kepentingan. Kepemimpinan bukan soal menjaga semua pihak tetap nyaman, melainkan memilih berpihak pada kepentingan publik meski harus berkonflik dengan lingkar terdekat. Pemimpin yang menjadikan kekuasaan sebagai ladang ibadah tidak diam ketika kebijakan disandera. Ia memutus, membersihkan, dan menanggung risiko politiknya.

Langkah korektif yang seharusnya dilakukan tidak lagi normatif. Audit total dua periode APBD, khususnya pada sektor pendidikan, infrastruktur, dan bantuan sosial, harus dibuka ke publik. Struktur belanja perlu direvolusi dengan memangkas belanja birokrasi dan mengalihkannya secara terukur ke pengentasan kemiskinan ekstrem berbasis desa. Pejabat yang gagal mencapai indikator kinerja harus dicopot tanpa kompromi loyalitas politik. Seluruh proyek strategis dan anggaran perlu ditampilkan dalam sistem transparansi real-time agar rakyat dapat mengawasi tanpa harus menunggu aparat penegak hukum. Dan pemerintah harus berani mengakui kegagalan kebijakan, karena dalam demokrasi, pengakuan adalah bentuk tanggung jawab tertinggi.

Baca Juga:  KENAIKAN UMP PROVINSI JAMBI BUKAN SOLUSI, MELAINKAN TIPUAN TERSTRUKTUR: KETIKA GUBERNUR JAMBI MENJADI PELAYAN PUSAT, BUKAN PELAYAN RAKYAT

Perlu sangat di ingat bahwa, Rakyat Jambi tidak membutuhkan pemimpin yang paling fasih berbicara soal niat. Rakyat membutuhkan pemimpin yang berani menundukkan dirinya pada data dan bersedia dihakimi oleh hasil. Dalam pemerintahan, ibadah tertinggi bukanlah narasi yang menenangkan, melainkan keadilan yang benar-benar dirasakan. Jika keadilan itu belum hadir setelah dua periode, maka masalahnya bukan kekurangan niat, melainkan kekurangan keberanian..