Oleh: Ramadhany Agus, S.Sy., M.H. (Akademisi Hukum dan Putra Daerah Kota Jambi)
KABARJAMBI.ID – Kepemimpinan daerah tidak pernah diukur dari narasi kampanye, slogan pembangunan, atau frekuensi publikasi media. Dalam negara hukum, kepemimpinan hanya sah dinilai dari satu ukuran objektif: sejauh mana kewenangan yang diberikan konstitusi digunakan untuk menyelesaikan masalah konkret masyarakat. Di titik inilah kepemimpinan Kota Jambi hari ini patut diuji secara jujur dan keras.
Hampir satu tahun sejak pelantikan Wali Kota Jambi, publik masih kesulitan menemukan capaian kebijakan baru yang berdampak langsung dan terukur. Ruang terbuka hijau, taman kota, hingga jaringan gas rumah tangga yang kini dinikmati warga bukanlah produk kebijakan periode berjalan, melainkan warisan kebijakan pemerintahan sebelumnya. Fakta ini tidak bersifat politis, tetapi administratif, dapat ditelusuri melalui dokumen perencanaan dan tahun anggaran pelaksanaan proyek.
Masalah muncul ketika kepemimpinan baru gagal menunjukkan akselerasi kebijakan lanjutan. Contoh paling sederhana adalah penggunaan kendaraan listrik dinas Pemerintah Kota Jambi yang menggunakan pelat nomor luar daerah. Ini bukan isu simbolik, melainkan kontradiksi kebijakan fiskal. Setiap kendaraan berpelat luar berarti potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama hilang dari Kota Jambi. Data Badan Pendapatan Daerah menunjukkan bahwa sektor pajak kendaraan merupakan salah satu kontributor tetap PAD daerah. Ketika kepala daerah sendiri tidak memberi teladan, maka ajakan peningkatan PAD kehilangan legitimasi moral.
Kemacetan yang semakin parah di kawasan Mayang, Simpang Rimbo, dan sejumlah titik pusat ekonomi bukan lagi persoalan teknis lalu lintas, melainkan indikator gagalnya pengendalian tata ruang. Fakta lapangan menunjukkan banyak sekolah, ruko, dan pusat usaha yang beroperasi tanpa lahan parkir memadai. Padahal, ketentuan penyediaan parkir adalah syarat wajib perizinan bangunan. Jika bangunan tanpa parkir tetap berdiri dan beroperasi, hanya ada dua kemungkinan: pengawasan tidak berjalan atau regulasi dibiarkan dilanggar.
Dalam perspektif hukum tata pemerintahan, kondisi ini jelas bermasalah. Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk membentuk peraturan daerah sebagai instrumen otonomi. Kewenangan itu dijabarkan melalui RPJMD yang merupakan perintah hukum, bukan dokumen seremonial. Visi dan misi kepala daerah yang telah disahkan dalam RPJMD mengikat seluruh Organisasi Perangkat Daerah tanpa pengecualian.
UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah secara tegas menyebutkan bahwa kepala daerah memimpin penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Artinya, ketika Dinas PUPR gagal menata infrastruktur pendukung, Dinas Perhubungan gagal mengurai kemacetan, Dinas Perizinan meloloskan bangunan tanpa parkir, dan Satpol PP tidak melakukan penertiban, maka yang terjadi bukan sekadar kelalaian teknis, melainkan pelanggaran administratif sistemik.
Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 memperjelas bahwa setiap OPD wajib menyusun program berdasarkan target RPJMD. Tidak ada ruang bagi pembiaran. Dalam hukum administrasi negara, ketidakselarasan antara kebijakan OPD dan RPJMD adalah dasar sah untuk evaluasi jabatan. Rotasi, mutasi, hingga penonaktifan pejabat bukan tindakan politis, melainkan kewajiban hukum kepala daerah.
Persoalan distribusi energi memperlihatkan kegagalan lain yang kasat mata. Harga gas subsidi di tingkat pengecer yang mencapai Rp35.000–Rp40.000 per tabung menunjukkan rantai distribusi yang tidak terkendali. Sementara jaringan gas rumah tangga yang terbukti menekan biaya energi warga secara signifikan justru merupakan program lama yang tidak diperluas secara agresif. Ini bukan soal ide baru atau lama, tetapi soal keberpihakan kebijakan.
Antrean panjang solar subsidi di SPBU dalam kota semakin menegaskan absennya pengendalian pemerintah daerah. Truk-truk yang parkir berjam-jam di badan jalan bukan hanya melanggar ketertiban umum, tetapi merampas hak mobilitas warga. SPBU yang tidak menyediakan lahan antrean memadai seharusnya tidak dibiarkan beroperasi tanpa sanksi. Ketika negara absen, yang terjadi adalah hukum rimba: yang kuat menguasai ruang, yang lemah menyingkir.
Semua ini bermuara pada satu pertanyaan mendasar: di mana kehadiran negara di tingkat kota? Apakah slogan “Jambi Bahagia” memiliki indikator yang bisa diuji secara empiris? Tanpa survei kepuasan publik, tanpa data capaian kebijakan, dan tanpa evaluasi terbuka, kebahagiaan hanya menjadi retorika politik, bukan realitas sosial.
Kritik ini tidak lahir dari kebencian, melainkan dari kewajiban intelektual. Dalam negara hukum, kekuasaan tanpa akuntabilitas akan kehilangan arah. Kepala daerah tidak diukur dari seberapa rapi pidato atau seberapa sering tampil di ruang publik, tetapi dari seberapa banyak masalah rakyat yang benar-benar diselesaikan.
Jika perangkat daerah tidak bekerja sesuai mandat hukum, maka pembiaran bukanlah pilihan. Kepemimpinan yang ragu bertindak pada akhirnya bukan hanya mengkhianati janji politik, tetapi juga melanggar amanat konstitusi. Kota Jambi tidak membutuhkan lebih banyak slogan. Kota ini membutuhkan keberanian menegakkan aturan, konsistensi menjalankan RPJMD, dan keberpihakan nyata pada kepentingan warga.
Karena sejarah tidak pernah mencatat niat baik. Sejarah hanya mencatat hasil. (Delon)
