KABARJAMBI.ID – Pernyataan Wakil Menteri Haji dan Umrah Republik Indonesia, Dr. H Dahnil Anzar Simanjuntak, dalam kunjungan kerjanya ke provinsi Jambi pada, Rabu (24/12/25). Yang menyebut “Provinsi Jambi sebagai salah satu daerah dengan bantuan terbesar kepada jemaah” layak diuji secara kebijakan dan data. Klaim semacam ini bukan kategori normatif, melainkan pernyataan kuantitatif yang menuntut pembuktian melalui angka anggaran, jenis intervensi, dan dampak nyata yang dapat diverifikasi publik.

Ukuran paling rasional untuk menilai “bantuan terbesar” kepada jemaah adalah sejauh mana kebijakan pemerintah daerah mampu mengurangi beban utama jemaah. Dalam konteks haji, beban tersebut adalah Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) yang nilainya berada di kisaran Rp88–89 juta per orang. Biaya ini ditetapkan oleh pemerintah pusat bersama otoritas Arab Saudi dan hingga kini sepenuhnya ditanggung jemaah. Tidak terdapat kebijakan Pemerintah Provinsi Jambi yang mengintervensi, menurunkan, atau menyubsidi komponen biaya tersebut.

Anggaran yang selama ini dirujuk sebagai bentuk dukungan Pemprov Jambi berada pada kisaran Rp30–32 miliar per tahun. Alokasi ini digunakan untuk kebutuhan keberangkatan domestik, seperti transportasi lokal, pengelolaan embarkasi, dan layanan teknis pra-keberangkatan. Dalam perspektif kebijakan publik, anggaran tersebut merupakan belanja operasional administratif yang bersifat normatif dan juga dilakukan oleh hampir semua pemerintah daerah. Anggaran ini tidak berbentuk subsidi ibadah, tidak diterima langsung oleh jemaah, dan tidak mengurangi kewajiban pembayaran BPIH.

Jika dilakukan perbandingan antarprovinsi, posisi Jambi tidak menunjukkan keunggulan yang dapat menopang klaim “bantuan terbesar”. Provinsi Lampung, misalnya, secara terbuka memberikan bantuan tunai berupa uang saku sebesar Rp1 juta kepada setiap jemaah haji. Bantuan ini bersifat langsung, diterima individu jemaah, dan dapat dihitung secara per orang. Sejumlah provinsi lain juga pernah mengalokasikan APBD untuk dukungan jemaah dengan skema yang jelas dan dipublikasikan. Dalam konteks ini, Jambi tidak menunjukkan jenis bantuan yang lebih substantif atau manfaat yang lebih besar bagi jemaah.

Baca Juga:  Tes Urine Gegerkan Balai Kota Jambi: Dua Positif, Sekda Bungkam dengan Alasan Obat Medis

Hibah rumah ibadah dan bantuan kepada lembaga pendidikan keagamaan yang nilainya puluhan miliar rupiah sering dimasukkan ke dalam narasi dukungan jemaah. Namun, kebijakan tersebut bersifat umum dan tidak berkorelasi langsung dengan persoalan utama jemaah haji. Pembangunan masjid dan bantuan kelembagaan tidak menurunkan biaya haji, tidak mengurangi masa tunggu, dan tidak menyentuh beban ekonomi jemaah. Menggabungkan bantuan fisik keagamaan dengan klaim dukungan jemaah merupakan kekeliruan kategorisasi kebijakan.

Penelusuran terhadap dokumen APBD dan laporan realisasi anggaran Pemprov Jambi yang tersedia untuk publik juga tidak menunjukkan adanya pos khusus yang konsisten, terukur, dan berkelanjutan untuk dukungan jemaah dalam arti substantif. Tidak ditemukan indikator kinerja maupun evaluasi dampak yang dapat membuktikan bahwa kontribusi Jambi melampaui provinsi lain. Tanpa data komparatif yang terbuka, klaim tersebut kehilangan dasar empiris.

Fakta demografis bahwa mayoritas penduduk Jambi beragama Islam atau banyaknya masjid dan musala di daerah ini tidak relevan untuk mengukur keberhasilan kebijakan dukungan jemaah. Demografi adalah realitas sosial, bukan hasil langsung dari intervensi kebijakan pemerintah daerah. Mengaitkannya dengan klaim bantuan jemaah adalah kekeliruan logika kebijakan.

Perlu ditegaskan bahwa tulisan ini tidak menafikan kontribusi Provinsi Jambi dalam aspek penataan dan dukungan administratif penyelenggaraan haji secara nasional. Kontribusi administratif tersebut ada dan tercatat. Namun, dukungan administratif tidak identik dengan bantuan terbesar, terutama jika ukuran yang digunakan adalah dampak langsung terhadap beban jemaah.

Dalam kerangka kebijakan publik, klaim bantuan terbesar hanya sah jika dibuktikan melalui data subsidi langsung, pengurangan beban biaya jemaah, atau program afirmatif yang terukur dan berkelanjutan. Selama indikator-indikator tersebut tidak terpenuhi, pernyataan mengenai “bantuan terbesar” lebih tepat dipahami sebagai klaim yang belum terkonfirmasi secara data.

Baca Juga:  Proyek Miliaran di Ujung Jarum: KPK Bidik Jalan dan Sport Center Tanjabbar

Akuntabilitas publik menuntut pemisahan yang tegas antara pujian dan kebijakan. Klaim harus tunduk pada angka, bukan sebaliknya. Tanpa transparansi anggaran dan ukuran dampak yang jelas, pernyataan publik berisiko menutup ruang evaluasi yang justru dibutuhkan masyarakat.