KABARJAMBI.ID – Pengumuman kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) Jambi oleh Gubernur Al Haris tidak dapat dibaca sebagai prestasi kebijakan publik, melainkan sebagai reduksi kesejahteraan buruh menjadi permainan angka administratif. Negara dalam hal ini Pemerintah Provinsi Jambi sekali lagi merayakan persentase, bukan kehidupan nyata. Yang dipertontonkan adalah angka nominal, sementara yang diabaikan adalah pertanyaan mendasar: apakah buruh Jambi dapat hidup layak dari upah tersebut tanpa terjerat utang, lembur berlebihan, dan penurunan kualitas hidup.

Secara metodologis, para ekonom Indonesia telah lama menjelaskan bahwa penetapan UMP bukan produk kepemimpinan daerah, melainkan turunan langsung dari formula nasional yang mekanis. Faisal Basri, dalam berbagai forum akademik dan media nasional, secara konsisten menyebut kebijakan upah minimum Indonesia sebagai instrumen stabilisasi makro yang dikorbankan di atas penderitaan buruh. Kepala daerah tidak diberi ruang politik untuk berpihak, hanya ruang administratif untuk mengeksekusi. Dalam kerangka ini, Gubernur Jambi bukan aktor kebijakan, melainkan operator regulasi pusat.

Bhima Yudhistira (CELIOS) berulang kali menegaskan bahwa kenaikan upah yang hanya mengikuti inflasi dan pertumbuhan ekonomi historis tidak pernah cukup untuk mengejar kenaikan biaya hidup riil, terutama bagi rumah tangga pekerja berupah rendah. Data BPS menunjukkan bahwa inflasi kelompok makanan, perumahan, dan transportasi komponen utama konsumsi buruh secara konsisten lebih tinggi dibanding inflasi umum. Ini berarti secara struktural, buruh selalu kalah cepat. Kenaikan UMP Jambi 2026, dalam kerangka ini, bukan solusi, melainkan penyesuaian minimal agar sistem tetap tampak “bekerja”.

Ekonom Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada dalam kajian ketenagakerjaan berulang kali menekankan pentingnya living wage,upah berbasis kebutuhan hidup layak aktual bukan sekadar minimum wage administratif. Namun konsep ini tidak pernah menjadi pijakan serius pemerintah daerah. Mengapa? Karena keberanian politik untuk menabrak batas minimal pusat akan berhadapan langsung dengan kepentingan investasi nasional. Di titik inilah terlihat jelas: Gubernur Jambi lebih memilih patuh ke atas daripada berpihak ke bawah.

Baca Juga:  UMP JAMBI NAIK, AMBISI IKUT NAIK: KETIKA KESEJAHTERAAN BURUH DIJADIKAN CV POLITIK UNTUK JADI MENTERI

Narasi keberhasilan UMP runtuh total ketika diuji dengan konsep daya beli riil. Bank Indonesia dan BPS sendiri mengakui bahwa tekanan biaya hidup rumah tangga kelas pekerja meningkat akibat kenaikan harga pangan, energi, dan jasa dasar. Jika upah naik tetapi konsumsi riil tidak bertambah, maka yang terjadi adalah penurunan kesejahteraan terselubung. Dalam literatur ekonomi, ini disebut money illusion dan pemerintah sadar betul sedang mempraktikkannya.

Lebih parah lagi, ketimpangan wilayah di Provinsi Jambi dilegalkan oleh negara. Enam kabupaten tanpa UMK dipaksa tunduk pada UMP terendah, meskipun biaya logistik dan harga kebutuhan pokok di daerah-daerah tersebut sering kali lebih mahal dibanding kota. Para ekonom pembangunan menyebut ini sebagai ketidakadilan spasial, dan hingga kini tidak ada keberanian politik dari Gubernur Jambi untuk menantangnya. Diamnya pemerintah daerah adalah bentuk kepatuhan struktural terhadap desain pusat yang tidak adil.

Sektor sawit, pertambangan, dan migas yang oleh hampir semua ekonom diakui sebagai sektor dengan economic rent tinggi hanya diberi kenaikan sektoral yang nyaris simbolik. Padahal nilai ekstraksi sumber daya alam Jambi mencapai triliunan rupiah. Ketika buruh sektor ekstraktif tetap digaji minimum, maka negara secara sadar sedang memfasilitasi pemindahan kekayaan dari tenaga kerja ke modal. Ini bukan kebetulan, ini desain.

Dalih bahwa kebijakan ini hasil “kesepakatan Dewan Pengupahan” juga telah lama dikritik oleh akademisi hubungan industrial. Kesepakatan dalam relasi kuasa yang timpang bukanlah konsensus, melainkan kompromi terpaksa. Buruh datang dengan ancaman PHK di belakang kepala, pengusaha datang dengan perlindungan kebijakan. Hasilnya dapat ditebak.

Maka jelas, persoalan UMP Jambi bukan soal naik atau tidak naik. Persoalannya adalah keberanian politik yang tidak pernah ada. Gubernur Jambi tidak berdiri sebagai pelayan rakyat pekerja Jambi, melainkan sebagai perpanjangan tangan kebijakan pusat yang memprioritaskan stabilitas investasi di atas martabat buruh.

Baca Juga:  Ke India Demi Transformasi Digital, atau Sekadar Liburan ke Negeri Asal Sang Nyonya?

Selama buruh masih harus menambal hidup dengan utang konsumtif, kerja ganda, dan pengorbanan kesehatan, maka setiap konferensi pers tentang kenaikan UMP adalah kebohongan yang dilembagakan. Ukuran keberhasilan kebijakan upah hanya satu, dan itu tidak bisa dipelintir oleh statistik: apakah buruh bisa hidup layak dari satu pekerjaan, tanpa kehilangan martabatnya.

Selama jawabannya masih “TIDAK”, maka kenaikan UMP Provinsi Jambi bukan kabar gembira,melainkan bukti bahwa pemerintah daerah memilih taat pada pusat, dan abai pada rakyatnya sendiri.