Oleh ; M. Ahyar (Mahasiswa HTN Fakultas Syariah UIN STS Jambi)

KABARJAMBI.ID – Selama ini, kita sering terjebak dalam pemikiran bahwa konstitusi hanyalah urusan politik, pemilu, atau pembagian kekuasaan. Padahal, jika kita membedah Pasal 33 UUD 1945, terdapat pesan mendalam bahwa bumi, air, dan kekayaan alam harus dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan prinsip berwawasan lingkungan. Inilah yang oleh para ahli disebut sebagai “Konstitusi Hijau” (Green Constitution). Menjaga lingkungan merupakan bagian melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia ini merupakan recht ide/cita hukum nasional yang menjadi amanat para the founding Fathers kita.

Alam Sebagai Identitas Kedaulatan Menjaga alam bukan sekadar aksi filantropi atau hobi pecinta lingkungan. Di Indonesia, menjaga kelestarian hutan, laut, dan udara adalah perintah konstitusi. Ketika sebuah kebijakan pembangunan justru mengakibatkan kerusakan lingkungan yang masif, pada saat itulah marwah konstitusi sedang dipertaruhkan. Mengapa demikian? Karena konstitusi menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat (Pasal 28H). Jika hak ini dirampas oleh polusi atau deforestasi, maka negara sebenarnya sedang gagal menjalankan amanat hukum tertingginya.

Eksploitasi alam atas nama investasi, lingkungan menjadi tumbal. Praktik ini seringkali menabrak “pagar” konstitusi yang menuntut keberlanjutan. Marwah konstitusi akan runtuh jika aturan hukum hanya dijadikan alat legalitas untuk mengeruk kekayaan alam tanpa memikirkan regenerasi ekosistem. Konstitusi kita tidak mengamanatkan kemakmuran sesaat untuk satu generasi, melainkan kemakmuran yang berkelanjutan. Maka, setiap jengkal hutan yang hilang tanpa prosedur yang benar adalah tamparan bagi integritas hukum kita.

Menuju Keadilan Ekologis Kaitan antara alam dan konstitusi membawa kita pada satu konsep: Keadilan Ekologis. Kita tidak bisa bicara tentang supremasi hukum jika hak-hak alam diabaikan. Menjaga marwah konstitusi berarti memastikan bahwa tidak ada satu pun regulasi di bawahnya yang boleh mengabaikan daya dukung lingkungan. Pemimpin yang menjaga alam adalah pemimpin yang tunduk pada konstitusi. Sebaliknya, pengabaian terhadap kelestarian lingkungan adalah bentuk pembangkangan halus terhadap cita-cita pendiri bangsa.

Baca Juga:  Proyek Miliaran di Ujung Jarum: KPK Bidik Jalan dan Sport Center Tanjabbar

Menjaga marwah konstitusi tidak selalu harus dengan berdebat di ruang sidang Mahkamah Konstitusi. Ia bisa dimulai dengan memastikan bahwa setiap kebijakan agraria, pertambangan, dan industri tetap berada dalam koridor pelestarian lingkungan. Jika alam kita hancur, tidak akan ada lagi “tanah air” yang bisa kita banggakan di bawah naungan konstitusi. Menjaga alam adalah cara paling nyata untuk setia pada janji bernegara. (AYR)